Kamis, 29 September 2016

Kisah Penuh Hikmah

 Jangan Memilih Utusan Seperti Kaum "AD"

 Ada pepatah Arab kuno, yakni “jangan seperti utusan kaum ‘Ad”. Ini adalah peribahasa yang berarti utusan yang membawa sial bagi kaumnya. Utusan seharusnya membawa kebaikan bagi yang diwakilinya, namun justru ia pulang membawa bencana. Ini dikisahkan dalam sastra Arab tentang kaum ‘Ad.

Syahdan, kaum ‘Ad adalah salah satu dari sekian banyak kabilah Arab kuno. Allah mengutus nabi Hud kepada mereka, namun mereka mendustakan beliau. Sebagai balasannya, Allah menimpakan kekeringan dan kelaparan pada kaum tersebut. Lantas mereka mengutus salah satu pembesar mereka ke tanah suci Makkah untuk berdo’a meminta hujan bagi mereka. 

Mereka berharap jika berdo’a di tanah suci, maka permintaannya bisa dikabulkan. Orang-orang tersebut sudah tertutup dan terkunci mata hatinya. Mereka mengira bahwa berperilaku kepada Allah seperti berperilaku kepada raja-raja yang dzalim, yakni mengirim utusan salah satu pemimpin atau pemuka mereka meskipun orang itu bertabiat tidak baik, seperti kasar, jiwanya fajir, penuh dengan kesombongan dan lain sebagainya.

Padahal orang yang mengenal Allah tentu saja mengetahui cara untuk meminta bantuan dalam hal terkena musibah seperti itu, yakni dengan mengutamakan seorang pria yang shalih dan ta’at kepada Allah untuk memimpin mereka menjalankan ibadah, meminta bantuan kepada Allah. Sedangkan utusan ‘Ad ini sebaliknya, ia adalah orang yang tidak berperilaku baik. Dalam perjalanannya ke tanah suci untuk meminta pertolongan Allah bagi kaumnya yang terkena musibah, ia melewati rumah Muawiyah bin Bakr. 

Bukannya segera menyelesaikan tugasnya, ia justru bermukim di rumahnya selama satu bulan, ditambah lagi minum khamr dan menikmati nyanyian dari dua wanita yang sangat tersohor kala itu. Utusan tersebut justru lupa akan tugasnya, ia malah menikmati diri bermaksiat menuruti nafsu pribadi, sementara kaumnya yang memberi amanah kepadanya sedang menderita.

Setelah ia merasa puas, ia pergi ke gunung Tahamah untuk memohon hujan. Ia mengucapkan do’a yang sangat tak lazim bagi seorang yang menghadap kepada Allah. Ia berkata:

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak pergi kepada orang sakit, lalu aku mengobatinya, dan tidak kepada tawanan, lalu aku membebaskannya dengan tebusan. Ya Allah, berikanlah hujan kepada ‘Ad seperti apa yang telah engkau berikan.”

Jika dirasakan dengan baik, itu bukan do’a. Tidak ada kepasrahan dan tawadhu’ kepada Allah Yang Maha Besar. Tidak ada pujian untuk memuliakanNya. Sepertinya pria ini tidak sedang berbicara kepada Tuhan Yang Maha Agung, Maha Perkasa, Maha Kuat dan Maha Kuasa. Apakah begitu adab berdo’a yang baik kepada Allah? Tentu saja tidak. Ia bahkan tidak menyampaikan hajat khusus kepada Allah. Ia hanya meminta diberi hujan seperti biasanya. Dia tidak meminta hujan yang mengandung rahmat dan berkah. Dia meminta yang penting hujan, tidak peduli hujan apa itu, rahmat ataupun adzab.

Beberapa kelompok awan lantas berjalan diatas kepala utusan tersebut. Dari awan ia dipanggil untuk memilih satu diantara berkelompok awan tersebut. Ia justru memilih awan yang paling hitam. Celakalah kaumnya, menunjuk pria yang tak becus berdo’a, sekarang tak becus memilih pula. Yang ia pilih ternyata adalah awan Adzab. Awan hitam itu adalah awan yang mengandung debu dan angin kencang. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran, kaum ‘Ad binasa karena badai pasir yang sangat dahsyat.

Moral cerita diatas adalah jika ingin memilih utusan dan pemimpin, pastikan mereka cukup layak sebagai pemimpin atau utusan, sehingga tidak merugikan kaum yang diwakili dan dipimpinnya.

Selasa, 27 September 2016

KISAH SAHABAT RASULULLAH

Kisah Bilal untuk terakhir kalinya kembali mengumandangkan Adzan di Masjid Nabawi, Adzan yang tak bisa dirampungkannya.

Sejak Rasulullah wafat, Bilal meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak lagi melantukan Adzan di puncak Masjid Nabawi di Madinah. Bahkan permintaan Khalifah Abu Bakar ketika itu, yang kembali memintanya untuk menjadi muadzin tidak bisa Ia penuhi.

Dengan kesedihan yang mendalam Bilal berkata : “ Biarkan aku hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi .”
Khalifah Abu Bakar pun bisa memahami kesedihan Bilal dan tak lagi memintanya untuk kembali menjadi muadzin di Masjid Nabawi, melantunkan Adzan panggilan umat muslim untuk menunaikan shalat fardhu.

Kesedihan Bilal akibat wafatnya Rasulullah tidak bisa hilang dari dalam hatinya. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan Madinah, bergabung dengan pasukan Fath Islamy hijrah ke negeri Syam. Bilal kemudian tinggal di Kota Homs, Syria.

Sekian lamanya Bilal tak berkunjung ke Madinah, hingga pada suatu malam, Rasulullah Muhammad SAW hadir dalam mimpinya. Dengan suara lembutnya Rasulullah menegur Bilal : “ Ya Bilal, Wa maa hadzal jafa? Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini? “

Bilal pun segera terbangun dari tidurnya. Tanpa berpikir panjang, Ia mulai mempersiapkan perjalanan untuk kembali ke Madinah. Bilal berniat untuk ziarah ke makam Rasulullah setelah sekian tahun lamanya Ia meninggalkan Madinah.
Setibanya di Madinah, Bilal segera menuju makam Rasulullah. Tangis kerinduannya membuncah, cintanya kepada Rasulullah  begitu besar. Cinta yang tulus karena Allah kepada Baginda Nabi yang begitu dalam.

Pada saat yang bersamaan, tampak dua pemuda mendekati Bilal. Kedua pemuda tersebut adalah Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Masih dengan berurai air mata, Bilal tua memeluk kedua cucu kesayangan Rasulullah tersebut.

Umar bin Khattab yang telah jadi Khalifah, juga turut haru melihat pemandangan tersebut. Kemudian salah satu cucu Rasulullah itupun membuat sebuah permintaan kepada Bilal.
“ Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek kami .”

Umar bin Khattab juga ikut memohon kepada Bilal untuk kembali mengumandangkan Adzan di Masjid Nabawi, walaupun hanya satu kali saja. Bilal akhirnya mengabulkan permintaan cucu Rasulullah dan Khalifah Umar Bin Khattab.

Saat tiba waktu shalat, Bilal naik ke puncak Masjid Nabawi, tempat Ia biasa kumandangkan Adzan seperti pada masa Rasulullah masih hidup. Bilal pun mulai mengumandangkan Adzan.

Saat lafadz “ Allahu Akbar ” Ia kumandangkan, seketika itu juga seluruh Madinah terasa senyap. Segala aktifitas dan perdagangan terhenti. Semua orang sontak terkejut, suara lantunan Adzan yang dirindukan bertahun-tahun tersebut kembali terdengar dengan merdunya.
Kemudian saat Bilal melafadzkan “ Asyhadu an laa ilaha illallah“, penduduk Kota Madinah berhamburan dari tempat mereka tinggal, berlarian menuju Masjid Nabawi. Bahkan dikisahkan para gadis dalam pingitan pun ikut berlarian keluar rumah mendekati asal suara Adzan yang dirindukan tersebut.

Puncaknya saat Bilal mengumandangkan “ Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah “, seisi Kota Madinah pecah oleh tangis dan ratapan pilu, teringat kepada masa indah saat Rasulullah masih hidup dan menjadi imam shalat berjamaah.

Tangisan Khalifah Umar bin Khattab terdengar  paling keras. Bahkan Bilal yang mengumandangkan Adzan tersebut tersedu-sedu dalam tangis, lidahnya tercekat, air matanya tak henti-hentinya mengalir. Bilal pun tidak sanggup meneruskan Adzannya, Ia terus terisak tak mampu lagi berteriak melanjutkan panggilan mulia tersebut.

Hari itu Madinah mengenang kembali masa saat Rasulullah masih ada diantara mereka. Hari itu, Bilal melantukan adzan pertama dan terakhirnya semenjak kepergian Rasulullah. Adzan yang tak bisa dirampungkannya.

Maha Suci Allah, kisah diatas telah mengaduk-aduk cinta dan kerinduan kita kepada Rasulullah Muhammad SAW. Kisah yang mampu membuat kita meneteskan airmata tanda cinta dan rindu kepada Baginda Nabi. Semoga kita bisa mendapatkan syafaat dari Rasulullah dan bisa bertemu dengan Rasul saat hari berbangkit.

KISAH SAHABAT RASULULLAH SAW

SALMAN AL-FARISI RADHIYALLAHU 'ANHU( Pencari Kebenaran )

Dari Persi datangnya pahlawan kali ini. Dan dari Persi pula Agama Islam nanti dianut oleh orang-orang Mu'min yang tidak sedikit jumlahnya, dari kalangan mereka muncul pribadi-pribadi istimewa yang tiada taranya, baik dalam bidang kedalam ilmu pengetahuan dan ilmuan dan keagamaan, maupun keduniaan. Dan memang, salah satu dari keistimewaan dan kebesaran al-Islam ialah, setiap ia memasuki suatu negeri dari negeri-negeri Allah, maka dengan keajaiban luar biasa dibangkitkannya setiap keahlian, digerakkannya segala kemampuan serta digalinya bakat-bakat terpendam dari warga dan penduduk negeri itu, hingga bermunculanlah filosof-filosof Islam, dokter-dokter Islam, ahli-ahli falak Islam, ahli-ahli fiqih Islam, ahli-ahli ilmu pasti Islam dan penemu-penemu mutiara Islam.

Ternyata bahwa pentolan-pentolan itu berasal dari setiap penjuru dan muncul dari setiap bangsa, hingga masa-masa pertama perkembangan Islam penuh dengan tokoh-tokoh luar biasa dalam segala lapangan, baik cita maupun karsa, yang berlainan tanah air dan suku bangsanya, tetapi satu Agama. Dan perkembangan yang penuh berkah dari Agama ini telah lebih dulu dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahkan beliau telah menerima janji yang benar dari Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Mengetahui. Pada suatu hari diangkatlah baginya jarak pemisah dari tempat dan waktu, hingga disaksikannyalah dengan mata kepala panji-panji Islam berkibar di kota-kota di muka bumi, serta di istana dan mahligai-mahligai para penduduknya. Salman radhiyallahu 'anhu sendiri turut menvaksikan hal tersebut, karena ia memang terlibat dan mempunyai hubungan erat dengan kejadian itu. Peristiwa itu terjadi waktu perang Khandaq, yaitu pada tahun kelima Hijrah.

Beberapa orang pemuka Yahudi pergi ke Mekah menghasut orang-orang musyrik dan golongan-golongan kuffar agar bersekutu menghadapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Kaum Muslimin, serta mereka berjanji akan memberikan bantuan dalam perang penentuan vang akan menumbangkan serta mencabut urat akar Agama baru ini. Siasat dan taktik perang pun diaturlah secara licik, bahwa tentara Quraisy dan Ghathfan akan menyerang kota Madinah dari luar, sementara Bani Quraidlah (Yahudi) akan menyerang-nya dari dalam -- yaitu dari belakang barisan Kaum Muslimim sehingga mereka akan terjepit dari dua arah, karenanya mereka akan hancur lumat dan hanya tinggal nama belaka. Demikianlah pada suatu hari Kaum Muslimin tiba-tiba melihat datangnya pasukan tentara yang besar mendekati kota Madinah, membawa perbekalan banyak dan persenjataan lengkap untuk menghancurkan. Kaum Muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dilukiskan oleh al-Quran sebagai berikut:

Ketika mereka datang dari sebelah atas dan dari arah bawahmu, dan tatkala pandangan matamu telah berputar liar, seolah-olah hatimu telah nakh sampai kerongkongan, dan kamu menaruh sangkaan yang bukan-bukan terhadap Allah. (Q.S. 33 al-Ahzab:l0)

Dua puluh empat ribu orang prajurit di bawah pimpinan Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishn menghampiri kota Madinah dengan maksud hendak mengepung dan melepaskan pukulan menentukan yang akan menghabisi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, Agama serta para shahabatnya. Pasukan tentara ini tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga dari berbagai kabilah atau suku yang menganggap Islam sebagai lawan yang membahayakan mereka. Dan peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan menentukan dari fihak musuh-musuh Islam, baik dari perorangan, maupun dari suku dan golongan.

Kaum Muslimin menginsafi keadaan mereka yang gawat ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam-pun mengumpulkan para shahabatnya untuk bermusyawarah. Dan tentu saja mereka semua setuju untuk bertahan dan mengangkat senjata, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk bertahan itu? Ketika itulah tampil seorang yang tinggi jangkung dan berambut lebat, seorang yang disayangi dan amat dihormati oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Itulah dia Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu!' Dari tempat ketinggian ia melayangkan pandang meninjau sekitar Madinah, dan sebagai telah dikenalnya juga didapatinya kota itu di lingkung gunung dan bukit-bukit batu yang tak ubah bagai benteng juga layaknya. Hanya di sana terdapat pula daerah terbuka, luas dan terbentang panjang, hingga dengan mudah akan dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan. Di negerinya Persi, Salman radhiyallahu 'anhu telah mempunyai pengalaman luas tentang teknik dan sarana perang, begitu pun tentang siasat dan liku-likunya. Maka tampillah ia mengajukan suatu usul kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yaitu suatu rencana yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini. Rencana itu berupa penggalian khandaq atau parit perlindungan sepanjang daerah terbuka keliling kota. Dan hanya Allah yang lebih mengetahui apa yang akan dialami Kaum Muslimin dalam peperangan itu seandainya mereka tidak menggali parit atau usul Salman radhiyallahu 'anhu tersebut. Demi Quraisy menyaksikan parit terbentang di hadapannya, mereka merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu, hingga tidak kurang sebulan lamanya kekuatan mereka bagai terpaku di kemah-kemah karena tidak berdaya menerobos kota. Dan akhirnya pada suatu malam Allah Ta'ala mengirim angin topan yang menerbangkan kemah-kemah dan memporak-porandakan tentara mereka. Abu Sufyan pun menyerukan kepada anak buahnya agar kembali pulang ke kampung mereka ... dalam keadaan kecewa dan berputus asa serta menderita kekalahan pahit ... Sewaktu menggali parit, Salman radhiyallahu 'anhu tidak ketinggalan bekerja bersama Kaum Muslimin yang sibuk menggali tanah. Juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ikut membawa tembilang dan membelah batu. Kebetulan di tempat penggalian Salman radhiyallahu 'anhu bersama kawan-kawannya, tembilang mereka terbentur pada sebuah batu besar. Salman radhiyallahu 'anhu seorang yang berperawakan kukuh dan bertenaga besar. Sekali ayun dari lengannya yang kuat akan dapat membelah batu dan memecahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. Tetapi menghadapi batu besar ini ia tak berdaya, sedang bantuan dari teman-temannya hanya menghasilkan kegagalan belaka. Salman radhiyallahu 'anhu pergi mendapatkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan minta idzin mengalihkan jalur parit dari garis semula, untuk menghindari batu besar yang tak tergoyahkan itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun pergi bersama Salman radhiyallahu 'anhu untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar tadi. Dan setelah menyaksikannya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta sebuah tembilang dan menyuruh para shahabat mundur dan menghindarkan diri dari pecahan-pecahan batu itu nanti.... Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu membaca basmalah dan mengangkat kedua tangannya yang mulia yang sedang memegang erat tembilang itu, dan dengan sekuat tenaga dihunjamkannya ke batu besar itu.

Kiranya batu itu terbelah dan dari celah belahannya yang besar keluar lambaian api yang tinggi dan menerangi. "Saya lihat lambaian api itu menerangi pinggiran kota Madinah", kata Salman radhiyallahu 'anhu, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan takbir, sabdanya: Allah Maha Besar! Ahu telah dikaruniai hunci-kunci istana negeri Persi, dan dari lambaian api tadi nampak olehku dengan nyata istana-istana kerajaan Hirah begitu pun kota-kota maharaja Persi dan bahwa ummatku akan menguasai semua itu. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat tembilang itu kembali dan memukulkannya ke batu untuk kedua kalinya. Maka tampaklah seperti semula tadi. Pecahan batu besar itu menyemburkan lambaian api yang tinggi dan menerangi, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir sabdanya:

Allah Maha Besar! Ahu telah dikaruniai kunci-kunci negeri Romawi, dan tampak nyata olehku istana-istana merahnya, dan bahwa ummatku akan menguasainya. Kemudian dipukulkannya untuk ketiga kali, dan batu besar itu pun menyerah pecah berderai, sementara sinar yang terpancar daripadanya amat nyala dan terang temarang. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun mengucapkan la ilaha illallah diikuti dengan gemuruh oleh kaum Muslimin. Lalu diceritakanlah oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau sekarang melihat istana-istana dan mahligai-mahligai di Syria maupun Shan'a, begitu pun di daerah-daerah lain yang suatu ketika nanti akan berada di bawah naungan bendera Allah yang berkibar. Maka dengan keimanan penuh Kaum Muslimin pun serentak berseru: Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya .... Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Salman radhiyallahu 'anhu adalah orang yang mengajukan saran untuk membuat parit. Dan dia pulalah penemu batu yang telah memancarkan rahasia-rahasia dan ramalan-ramalan ghaib, yakni ketika ia meminta tolong kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Ia berdiri di samping Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyaksikan cahaya dan mendengar berita gembira itu. Dan dia masih hidup ketika ramalan itu menjadi kenyataan, dilihat bahkan dialami dan dirasakannya sendiri. Dilihatnya kota-kota di Persi dan Romawi, dan dilihatnya mahligai istana di Shan'a, di Mesir, di Syria dan di Irak. Pendeknya disaksikan dengan mata kepalanya bahwa seluruh permukaan bumi seakan berguncang keras, karena seruan mempesona penuh berkah yang berkumandang dari puncak menara-menara tinggi di setiap pelosok, memancarkan sinar hidayah Allah ....Nah, itulah dia sedang duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang berdaun rimbun, di muka rumahnya di kota Madain; sedang menceriterakan kepada shahabat-shahabatnya perjuangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran, dan mengisahkan kepada mereka bagaimana ia meninggalkan agama nenek moyangnya bangsa Persi, masuk ke dalam agama Nashrani dan dari sana pindah ke dalam Agama Islam. Betapa ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan menjatuhkan dirinya ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan fikiran dan jiwanya .. .! Betapa ia dijual di pasar budak dalam mencari kebenaran itu, bagaimana ia berjumpa dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan iman kepadanya ...! Marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan kita dengarkan kisah menakjubkan yang diceriterakannya!

"Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama "Ji". Bapakku seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluq Allah yang paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama majusi, hingga diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam. Bapakku memiliki sebidang tanah, dan pada suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku lewat di sebuah gereja milik kaum Nashrani.

Kudengar mereka sedang sembahyang, maka aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka sembahyang, dan kataku dalam hati: "Ini lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!" Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik bapakku serta tidak pula kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku. Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang Nashrani dari mana asal-usul agama mereka. "Dari Syria",ujar mereka. Ketika telah berada di hadapan bapakku, kukatakan kepadanya: "Aku lewat pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja. Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik dari agama kita". Kami pun bersoal-jawab melakukan diskusi dengan bapakku dan berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku .... Kepada orang-orang Nashrani kukirim berita bahwa aku telah menganut agama mereka. Kuminta pula agar bila datang rombongan dari Syria, supaya aku diberi tahu sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana.

Permintaanku itu mereka kabulkan, maka kuputuskan rantai. Lalu meloloskan diri dari penjara dan menggabungkan diri kepada rombongan itu menuju Syria. Sesampainya di sana kutanyakan seorang ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup pemilik gereja. Maka datanglah aku kepadanya, kuceriterakan keadaanku. Akhirnya tinggallah aku bersamanya sebagai pelayan, melaksanakan ajaran mereka dan belajar, Sayang uskup ini seorang yang tidak baik beragamanya, karena dikumpulkannya sedekah dari orang-orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata disimpan untuk dirinya pribadi.

Kemudian uskup itu wafat ....dan mereka mengangkat orang lain sebagai gantinya. Dan kulihat tak seorang pun yang lebih baik beragamanya dari uskup baru ini. Aku pun mencintainya demikian rupa, sehingga hatiku merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu dari padanya. Dan tatkala ajalnya telah dekat, tanyaku padanya: "Sebagai anda maklumi, telah dekat saat berlakunya taqdir Allah atas diri anda. Maka apakah yang harus kuperbuat, dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubungi. "Anakku!", ujamya: "tak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul".

Lalu tatkala ia wafat aku pun berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya itu. Kuceriterakan kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah. Kemudian tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa yang harus kuturuti. Ditunjukkannyalah orang shalih yang tinggal di Nasibin. Aku datang kepadanya dan ku ceriterakan perihalku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah pula.

Tatkala ia hendak meninggal, kubertanya pula kepadanya. Maka disuruhnya aku menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di 'Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi. Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya, sedang sebagai bekal hidup aku berternak sapi dan kambing beberapa ekor banyaknya. Kemudian dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan padanya kepada siapa aku dipercayakannya. Ujarnya: "Anakku.' Tak seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya. Tetapi sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim secara murni. la nanti akan hijrah he suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia, la mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau makan shadaqah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau mengenalinya': Kebetulan pada suatu hari lewatlah suatu rombongan berkendaraan, lalu kutanyakan dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari jazirah Arab, maka kataku kepada mereka: "Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?" "Baiklah", ujar mereka. Demikianlah mereka membawaku serta dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di sana aku mengalami penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang yahudi.

Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku meleset. Mulai saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada suatu hari datang seorang yahudi Bani Quraizhah yang membeliku pula daripadanya. Aku dibawanya ke Madinah, dan demi Allah baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu. Aku tinggal bersama yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga datang saat dibangkitkannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang datang ke Madinah dan singgah pada Bani 'Amar bin 'Auf di Quba. Pada suatu hari, ketika aku berada di puncak pohon kurma sedang majikanku lagi duduk di bawahnya, tiba-tiba datang seorang yahudi saudara sepupunya yang mengatakan padanya: "Bani Qilah celaka! Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba yang datang dari Mekah dan mengaku sebagai Nabi Demi Allah, baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku-pun bergetar keras hingga pohon kurma itu bagai bergoncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku. Aku segera turun dan kataku kepada orang tadi: "Apa kata anda?" Ada berita apakah?" Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, serta bentaknya: "Apa urusanmu dengan ini, ayoh kembali ke pekerjaanmu!" Maka aku pun kembalilah bekerja ... Setelah hari petang, kukumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar dan pergi menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di Quba. Aku masuk kepadanya ketika beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan. Lalu kataku kepadanya: "Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah kujanjikan untuk sedeqah. Dan setelah mendengar keadaan tuan-tuan, maka menurut hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa ke sini". Lalu makanan itu kutaruh di hadapannya. "Makanlah dengan nama Allah". sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada para shahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun mengulurkan tangannya menjamah makanan itu. "Nah, demi Allah!" kataku dalam hati, inilah satu dari tanda-tandanya ... bahwa ia tah mau memakan harta sedeqah': Aku kembali pulang, tetapi pagi-pagi keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sambil membawa makanan, serta kataku kepadanya: "Kulihat tuan tak hendak makan sedeqah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada tuan sebagai hadiah'', lalu kutaruh makanan di hadapannya. Maka sabdanya kepada shahabatnya: 'Makanlah dengan menyebut nama Allah ! ' Dan beliaupun turut makan bersama mereka. "Demi Allah': kataku dalam hati, inilah tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah ': Aku kembali pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama.

Kemudian kupergi mencari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan kutemui beliau di Baqi', sedang mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh shahabat-shahabatnya. Ia memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju. Kuucapkan salam kepadanya dan kutolehkan pandangan hendak melihatnya. Rupanya ia mengerti akan maksudku, maka disingkapkannya kain burdah dari lehernya hingga nampak pada pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap henabian sebagai disebutkan oleh pendeta dulu. Melihat itu aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu aku dipanggil menghadap oleh Rasulullah. Aku duduk di hadapannya, lalu kuceriterakan kisahku kepadanya sebagai yang telah kuceriterakan tadi. Kemudian aku masuk Islam, dan perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai perang Badar dan Uhud. Lalu pada suatu hari Rasulullah menitahkan padaku:'Mintalah pada majihanmu agar ia bersedia membebashanmu dengan menerima uang tebusan." Maka kumintalah kepada majikanku sebagaimana dititahkan Rasulullah, sementara Rasulullah menyuruh para shahabat untuk membantuku dalam soal keuangan.

Demikianlah aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang Muslim yang bebas merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah dalam perang Khandaq dan peperangan lainnya. Dengan kalimat-kalimat yang jelas dan manis, Salman radhiyallahu 'anhu menceriterakan kepada kita usaha keras dan perjuangan besar serta mulia untuk mencari hakikat keagamaan, yang akhirnya dapat sampai kepada Allah Ta'ala dan membekas sebagai jalan hidup yang harus ditempuhnya .... Corak manusia ulung manakah orang ini? Dan keunggulan besar manakah yang mendesak jiwanya yang agung dan melecut kemauannya yang keras untuk mengatasi segala kesulitan dan membuatnya mungkin barang yang kelihatan mustahil? Kehausan dan kegandrungan terhadap kebenaran manakah yang telah menyebabkan pemiliknya rela meninggalkan kampung halaman berikut harta benda dan segala macam kesenangan, lalu pergi menempuh daerah yang belum dikenal -- dengan segala halangan dan beban penderitaan -- pindah dari satu daerah ke daerah lain, dari satu negeri ke negeri lain, tak kenal letih atau lelah, di samping tak lupa beribadah secara tekun ...? Sementara pandangannya yang tajam selalu mengawasi manusia, menyelidiki kehidupan dan aliran mereka yang berbeda, sedang tujuannya yang utama tak pernah beranjak dari semula, yang tiada lain hanya mencari kebenaran. Begitu pun pengurbanan mulia yang dibaktikannya demi mencapai hidayah Allah, sampai ia diperjual belikan sebagai budak belian ...Dan akhirnya ia diberi Allah ganjaran setimpal hingga dipertemukan dengan al-Haq dan dipersuakan dengan Rasul-Nya, lalu dikaruniai usia lanjut, hingga ia dapat menyaksikan dengan kedua matanya bagaimana panji-panji Allah berkibaran di seluruh pelosok dunia, sementara ummat Islam mengisi ruangan dan sudut-sudutnya dengan hidayah dan petunjuk Allah, dengan kemakmuran dan keadilan.. .! Bagaimana akhir kesudahan yang dapat kita harapkan dari seorang tokoh yang tulus hati dan keras kemauannya demikian rupa? Sungguh, keislaman Salman radhiyallahu 'anhu adalah keislamannya orang-orang utama dan taqwa. Dan dalam kecerdasan, kesahajaan dan kebebasan dari pengaruh dunia, maka keadaannya mirip sekali dengan Umar bin Khatthab. Ia pernah tinggal bersama Abu Darda di sebuah rumah beberapa hari lamanya. Sedang kebiasaan Abu Darda beribadah di waktu malam dan shaum di waktu siang. Salman radhiyallahu 'anhu melarangnya berlebih-lebihan dalam beribadah seperti itu.

Pada suatu hari Salman radhiyallahu 'anhu bermaksud hendak mematahkan niat Abu Darda untuk shaum sunnat esok hari. Dia menyalahkannya: "Apakah engkau hendak melarangku shaum dan shalat karena Allah?" Maka jawab Salman radhiyallahu 'anhu: "Sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Di samping engkau shaum, berbukalah; dan di samping melakukan shalat, tidurlah!" Peristiwa itu sampai ke telinga Rasulullah, maka sabdanya: Sungguh Salman radhiyallahu 'anhu telah dipenuhi dengan ilmu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri sering memuji kecerdasan Salman radhiyallahu 'anhu serta ketinggian ilmunya, sebagaimana beliau memuji Agama dan budi pekertinya yang luhur. Di waktu perang Khandaq, kaum Anshar sama berdiri dan berkata: "Salman radhiyallahu 'anhu dari golongan kami". Bangkitlah pula kaum Muhajirin, kata mereka: "Tidak, ia dari golongan kami!" Mereka pun dipanggil oleh Rasurullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan sabdanya: Salman adalah golongan kami, ahlul Bait. Dan memang selayaknyalah jika Salman radhiyallahu 'anhu mendapat kehormatan seperti itu ...! Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu menggelari Salman radhiyallahu 'anhu dengan "Luqmanul Hakim". Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya: "Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering". Dalam kalbu para shahabat umumnya, pribadii Salman radhiyallahu 'anhu telah mendapat kedudukan mulia dan derajat utama. Di masa pemerintahan Khalifah Umar radhiyallahu 'anhu ia datang berkunjung ke Madinah. Maka Umar melakukan penyambutan yang setahu kita belum penah dilakukannya kepada siapa pun juga. Dikumpulkannya para shahabat dan mengajak mereka: "Marilah kita pergi menyambut Salman radhiyallahu 'anhu!" Lalu ia keluar bersama mereka menuju pinggiran kota Madinah untuk menyambutnya ... Semenjak bertemu dengan Rasulullah dan iman kepadanya, Salman radhiyallahu 'anhu hidup sebagai seorang Muslim yang merdeka, sebagai pejuang dan selalu berbakti. Ia pun mengalami kehidupan masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu; kemudian di masa Amirul Mu'minin Umar radhiyallahu 'anhu; lalu di masa Khalifah Utsman radhiyallahu 'anhu, di waktu mana ia kembali ke hadlirat Tuhannya.

Di tahun-tahun kejayaan ummat Islam, panji-panji Islam telah berkibar di seluruh penjuru, harta benda yang tak sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusat pemerintahan baik sebagai upeti ataupun pajak untuk kemudian diatur pembagiannya menurut ketentuan Islam, hingga negara mampu memberikan gaji dan tunjangan tetap. Sebagai akibatnya banyaklah timbul masalah pertanggungjawaban secara hukum mengenai perimbangan dan cara pembagian itu, hingga pekerjaan pun bertumpuk dan jabatan tambah meningkat. Maka dalam gundukan harta negara yang berlimpah ruah itu, di manakah kita dapat menemukan Salman radhiyallahu 'anhu? Di manakah kita dapat menjumpainya di saat kekayaan dan kejayaan, kesenangan dan kemakmuran itu ...? Bukalah mata anda dengan baik! Tampaklah oleh anda seorang tua berwibawa duduk di sana di bawah naungan pohon, sedang asyik memanfaatkan sisa waktunya di samping berbakti untuk negara, menganyam dan menjalin daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang. Nah, itulah dia Salman radhiyallahu 'anhu Perhatikanlah lagi dengan cermat! Lihatlah kainnya yang pendek, karena amat pendeknya sampai terbuka kedua lututnya. Padahal ia seorang tua yang berwibawa, mampu dan tidak berkekurangan. Tunjangan yang diperolehnya tidak sedikit, antara empat sampai enam ribu setahun. Tapi semua itu disumbangkannya habis, satu dirham pun tak diambil untuk dirinya. Katanya: "Untuk bahannya kubeli daun satu dirham, lalu kuperbuat dan kujual tiga dirham. Yang satu dirham kuambil untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluargaku, sedang satu dirham sisanya untuk shadaqah. Seandainya Umar bin Khatthab radhiyallahu 'anhu melarangku berbuat demikian, sekali-kali tiadalah akan kuhentikan!" Lalu bagaimana wahai ummat Rasulullah? Betapa wahai peri kemanusiaan, di mana saja dan kapan saja? Ketika mendengar sebagian shahabat dan kehidupannya yang amat bersahaja, seperti Abu Bakar, Umar, Abu Dzar radhiyallahu 'anhum dan lain-lain; sebagian kita menyangka bahwa itu disebabkan suasana lingkungan padang pasir, di mana seorang Arab hanya dapat menutupi keperluan dirinya secara bersahaja. Tetapi sekarang kita berhadapan dengan seorang putera Persi, suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan serta hidup boros, sedang ia bukan dari golongan miskin atau bawahan, tapi dari golongan berpunya dan kelas tinggi. Kenapa ia sekarang menolak harta, kekayaan dan kesenangan; bertahan dengan kehidupan bersahaja, tiada lebih dari satu dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri.. .? kenapa ditolaknya pangkat dan tak bersedia menerimanya? Katanya: "Seandainya kamu masih mampu makan tanah asal tak membawahi dua orang manusia --, maka lakukanlah!" Kenapa ia menolak pangkat dan jabatan, kecuali jika mengepalai sepasukan tentara yang pergi menuju medan perang? Atau dalam suasana tiada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab kecuali dia, hingga terpaksa ia melakukannya dengan hati murung dan jiwa merintih? Lalu kenapa ketika memegang jabatan yang mesti dipikulnya, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan padanya secara halal? Diriwayatkan eleh Hisyam bin Hisan dari Hasan: "Tunjangan Salman radhiyallahu 'anhu sebanyak lima ribu setahun, (gambaran kesederhanaannya) ketika ia berpidato di hadapan tigapuluh ribu orang separuh baju luarnya (aba'ah) dijadikan alas duduknya dan separoh lagi menutupi badannya. Jika tunjangan keluar, maka dibagi-bagikannya sampai habis, sedang untuk nafqahnya dari hasil usaha kedua tangannya". Kenapa ia melakukan perbuatan seperti itu dan amat zuhud kepada dunia, padahal ia seorang putera Persi yang biasa tenggelam dalam kesenangan dan dipengaruhi arus kemajuan? Marilah kita dengar jawaban yang diberikannya ketika berada di atas pembaringan menjelang ajalnya, sewaktu ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Tuhannya Yang Maha Tinggi lagi Maha Pengasih. Sa'ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya, lalu Salman radhiyallahu 'anhu menangis. "Apa yang anda tangiskan, wahai Abu Abdillah",') tanya Sa'ad, "padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat dalam keadaan ridla kepada anda?" "Demi Allah, ujar Salman radhiyallahu 'anhu, "daku menangis bukanlah karena takut mati ataupun mengharap kemewahan dunia, hanya Rasulullah telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, sabdanya: Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara, padahal harta milikku begini banyaknya" Kata Sa'ad: "Saya perhatikan, tak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan sebuah baskom. Lalu kataku padanya: "Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang akan kami ingat selalu darimu!" Maka ujamya: "Wahai Sa'ad! Ingatlah Allah di kala dukamu, sedang kau derita. Dan pada putusanmu jika kamu menghukumi. Dan pada saat tanganmu melakukan pembagian". Rupanya inilah yang telah mengisi kalbu Salman radhiyallahu 'anhu mengenai kekayaan dan kepuasan. Ia telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia dan segala harta, pangkat dengan pengaruhnya; yaitu pesan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadanya dan kepada semua shahabatnya, agar mereha tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil bagian daripadanya, kecuali sekedar bekal seorang pengendara. Salman radhiyallahu 'anhu telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air matanya masih jatuh berderai ketika ruhnya telah siap untuk berangkat; khawatir kalau-kalau ia telah melampaui batas yang ditetapkan. Tak terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring wadah makannya dan sebuah baskom untuk tempat minum dan wudlu .:., tetapi walau demikian ia menganggap dirinya telah berlaku boros .... Nah, bukankah telah kami ceritakan kepada anda bahwa ia mirip sekali dengan Umar? Pada hari-hari ia bertugas sebagai Amir atau kepala daerah di Madain, keadaannya tak sedikit pun berubah. Sebagai telah kita ketahui, ia menolak untuk menerima gaji sebagai amir, satu dirham sekalipun. Ia tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam daun kurma, sedang pakaiannya tidak lebih dari sehelai baju luar, dalam kesederhanaan dan kesahajaannya tak berbeda dengan baju usangnya. Pada suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan raya, ia didatangi seorang laki-laki dari Syria yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, hingga melelahkannya. Demi dilihat olehnya seorang laki-laki yang tampak sebagai orang biasa dan dari golongan tak berpunya, terpikirlah hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan diberi imbalan atas jerih payahnya bila telah sampai ke tempat tujuan. Ia memberi isyarat supaya datang kepadanya, dan Salman radhiyallahu 'anhu menurut dengan patuh. "Tolong bawakan barangku ini!", kata orang dari Syria itu. Maka barang itu pun dipikullah oleh Salman radhiyallahu 'anhu, lalu berdua mereka berjalan bersama-sama. Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan satu rombongan. Salman radhiyallahu 'anhu memberi salam kepada mereka, yang dijawabnya sambil berhenti: "Juga kepada amir, kami ucapkan salam" "Juga kepada amir?" Amir mana yang mereka maksudkan?" tanya orang Syria itu dalam hati. Keheranannya kian bertambah ketika dilihatnya sebagian dari anggota rombongan segera menuju beban yang dipikul oleh Salman radhiyallahu 'anhu dengan maksud hendak menggantikannya, kata mereka: "Berikanlah kepada kami wahai amir!" Sekarang mengertilah orang Syria itu bahwa kulinya tiada lain Salman al-Farisi radhiyallahu 'anhu, amir dari kota Madain. Orang itu pun menjadi gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf bagai mengalir dari bibirnya. Ia mendekat hendak menarik beban itu dari tangannya, tetapi Salman radhiyallahu 'anhu menolak, dan berkata sambil menggelengkan kepala: "Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke rumahmu! Suatu ketika Salman radhiyallahu 'anhu pernah ditanyai orang: Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai amir? Jawabnya: "Karena manis wahtu memegangnya tapi pahit waktu melepaskannya!" Pada waktu yang lain, seorang shahabat memasuki rumah Salman radhiyallahu 'anhu, didapatinya ia sedang duduk menggodok tepung, maka tanya shahabat itu: Ke mana pelayan? Ujarnya: "Saya suruh untuk suatu keperluan, maka saya tak ingin ia harus melakukan dua pekerjaan sekaligus'' Apa sebenarnya yang kita sebut "rumah" itu? Baiklah kita ceritakan bagaimana keadaan rumah itu yang sebenamya. Ketika hendak mendirikan bangunan yang berlebihan disebut sebagai "rumah'' itu, Salman radhiyallahu 'anhu bertanya kepada tukangnya: "Bagaimana corak rumah yang hendak anda dirikan?" Kebetulan tukang bangunan ini seorang 'arif bijaksana, mengetahui kesederhanaan Salman radhiyallahu 'anhu dan sifatnya yang tak suka bermewah mewah. Maka ujarnya: "Jangan anda khawatir! rumah itu merupakan bangunan yang dapat digunakan bernaung di waktu panas dan tempat berteduh di waktu hujan. Andainya anda berdiri, maka kepala anda akan sampai pada langit-langitnya; dan jika anda berbaring, maka kaki anda akan terantuk pada dindingnya". "Benar", ujar Salman radhiyallahu 'anhu, "seperti itulah seharusnya rumah yang akan anda bangun!" Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau diutamakan oleh Salman radhiyallahu 'anhu sedikit pun, kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan dipentingkannya, bahkan telah dititipkan kepada isterinya untuk disimpan di tempat yang tersembunyi dan aman.

Ketika dalam sakit yang membawa ajalnya, yaitu pada pagi hari kepergiannya, dipanggillah isterinya untuk mengambil titipannya dahulu. Kiranya hanyalah seikat kesturi yang diperolehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Barang itu sengaja disimpan untuk wangi-wangian di hari wafatnya. Kemudian sang isteri disuruhnya mengambil secangkir air, ditaburinya dengan kesturi yang dikacau dengan tangannya, lalu kata Salman radhiyallahu 'anhu kepada isterinya: "Percikkanlah air ini ke sekelilingku ... Sekarang telah hadir di hadapanku makhluq Allah') yang tiada dapat makan, hanyalah gemar wangi-wangian Setelah selesai, ia berkata kepada isterinya: "Tutupkanlah pintu dan turunlah!" Perintah itu pun diturut oleh isterinya. Dan tak lama antaranya isterinya kembali masuk, didapatinya ruh yang beroleh barkah telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya ... Ia telah mencapai alam tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan; rindu memenuhi janjinya, untuk bertemu lagi dengan Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan dengan kedua shahabatnya Abu Bakar dan Umar, serta tokoh-tolroh mulia lainnya dari golongan syuhada dan orang-orang utama .... Salman radhiyallahu 'anhu .... Lamalah sudah terobati hati rindunya Terasa puas, hapus haus hilang dahaga. Semoga Ridla dan Rahmat Allah menyertainya. 1) yang dimaksud makhluq Allah di sini, Malaikat.

Senin, 26 September 2016

KISAH SAHABAT RASULULLAH SAW

Apa yang Dikatakan Rasullullah SAW tentang Abu Bakar RA  

                                                     
         Abu Bakar RA adalah orang dewasa pertama yang masuk islam, tetapi bukan itu saja, Rasullullah SAW juga  memujinya karena cara penerimaan ajakan Rasullullah SAW untuk memeluk islam. Tentang hal ini Beliau bersabda, "Tiada pernah aku mengajak seseorang masuk Islam, tanpa ada hambatan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan kecuali Abu Bakar. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu sedikitpun." 
                             
        Abu Bakar RA juga sahabat Rasullullah SAW jauh sebelum Beliau mendakwahkan Islam. Selisih usianya yang hanya bertaut dua tahun lebih muda, dan kemuliaan budi pekerti Abu Bakar dibandingkan orang-orang Makkah saat itu, membuatnya dekat dan akrab dengan Rasullullah SAW. Bahkan Abu Bakar menjadikan sosok Nabi SAW sebagai cerminan dan teladan untuk meningkatkan kualitas dirinya. Tak heran begitu memeluk Islam, keimanan dan keteguhannya dalam menjaga agamanya tak diragukan lagi, bahkan Rasulullah SAW sendiripun memujinya. Beliau bersabda tentang dirinya "Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat, akan lebih berat keimanan Abu Bakar." (HR Iman Baihaqi, dalam Asy Syib)  
                                        
        Masih banyak lagi pujian Nabi SAW terhadap Abu Bakar, misalnya : Pemimpin jamaah di surga, Semua pintu surga akan memanggilnya untuk memasukinya, Orang pertama yang masuk surga dari umat Nabi SAW, dll.                                                                                     
Kegigihan Abu Bakar RA dalam Menjalankan dan Mendakwahkan Agamanya

            Abu Bakar adalah salah seorang yang sangat dihormati dikalangan orang-orang Makkah, selain karena kemuliaan budi pekertinya, kejujuran, kecerdasan, kecakapan, berkemauan keras, pemberani dan dermawan, dia juga berasal dari keturunan yang mulia dari Bangsa Quraisy. Nasab kedua orang tuanya bertemu dengan nasab Rasullullah SAW pada Murrah Bin Ka'ab, kakeknya. Namun demikian, pilihannya untuk masuk agama Islam membuat orang-orang Makkah mengabaikan kedudukan dan kemuliaannya tersebut.
 
Tidak mudah bagi Abu Bakar untuk menjalankan ibadah sebagaimana sahabat-sahabat yang mula-mula memeluk Islam, gangguan dan siksaan juga dialaminya. Ketika penganiayaan dan tekanan semakin dahsyat,  dia meminta ijin kepada Rasullullah SAW untuk berhijrah ke Habsyi, dan Rasullullah SAW pun mengijinkannya. Ketika perjalanannya sampai pada tempat bernama "Barkulimat", Abu Bakar RA bertemu dengan Ibnu Addaghnah, pemimpin suku setempat . Ketika ditanya tentang perjalanannya tersebut, Abu Bakar RA menjawab, "Aku dipaksa keluar (dari Makkah) oleh kaumku, dan aku ingin merantau di muka bumi sehingga aku dapat beribadah kepada Rabbku."

Mendengar jawaban itu, Ibnu Addaghnah berkata, "Orang seperti engkau hai Abu Bakar, tidak boleh keluar atau dikeluarkan. Engkau selalu menolong orang yang miskin, suka bersilaturahmi, membantu orang yang sengsara dan lemah, dan menghormati tamu. Aku bersedia menjadi pelindungmu. Kembalilah ke Makkah, dan sembahlah Tuhanmu di negerimu."  
                
Budaya "Pelindung/Melindungi” adalah budaya yang sangat dihormati di kalangan suku-suku Arab. Begitu seorang yang punya pengaruh menyatakan diri sebagai "Pelindung" bagi seseorang, maka maka harta, darah dan kehormatan orang tersebut aman dari gangguan dan siksaan orang-orang sekitarnya. Budaya ini pula  yang membantu Nabi SAW mendakwahkan Islam di tengah penolakan dan permusuhan kaum kafir Quraisy Makkah karena Abu Thalib menyatakan diri sebagai "Pelindung" Rasullullah SAW. Begitu Abu Thalib meninggal, Rasullullah SAW mengalami siksaan dan penghinaan yang tak kalah hebatnya dengan sahabat-sahabat beliau yang lain.                                                       
            Abu Bakar kembali ke Makkah dan Ibnu Addaghnah mengumumkan "Perlindungan" yang diberikannya pada  Abu Bakar, dia melarang siapapun untuk mengganggu Abu Bakar. Orang-orang kafir Quraisy tak berkutik, tetapi mereka mengajukan syarat agar Abu Bakar tidak bersuara keras dalam beribadah, karena khawatir kaum wanita dan anak-anak mereka akan terganggu. Ibnu Addaghnah dan Abu Bakar menerima persyaratan itu.                                        
            Abu Bakar mendirikan mushalla di depan rumahnya, dia shalat dan membaca Qur'an di sana. Setiap kali selesai membaca Qur'an, dia selalu menangis, hal ini membuat wanita dan anak-anak orang kafir Quraisy jadi tertarik dan mulai terpengaruh dengan apa yang dilakukan Abu Bakar. Kaum kafir Quraisy pun jadi khawatir dan mengadukan ini pada Ibnu Addaghnah. Ibnu Addaghnahpun mendatangi Abu Bakar dan berkata, "Engkau telah mengetahui perjanjian dengan orang-orang Quraisy, hendaklah engkau menepati perjanjian itu, atau engkau kembalikan perlindunganku?" 
Dengan jawaban yang menunjukkan keteguhan imannya, Abu Bakar RA pun menjawab, "Aku kembalikan janji perlindunganmu, dan aku ridha dengan perlindungan Allah SWT." 
Mulailah Abu Bakar mengalami tekanan dan siksaan dalam beribadah kepada Allah SWT sebagaimana sebelumnya.                                                                                       
            Setelah memeluk Islam, Abu Bakar RA mengurangi aktivitas perdagangan yang sebenarnya cukup sukses, dan mengabdikan waktu, tenaga dan hartanya untuk agama yang diyakini kebenarannya itu. Tercatat beberapa sahabat utama menjadi muslim karena ajakan Abu Bakar, seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka ini adalah sebagian dari sepuluh orang sahabat yang dijamin akan masuk surga sebagaimana diberitakan Nabi SAW pada Aisyah RA. Selain itu, Utsman bin Mazh'un, Abu Salamah bin Abdul Asad, Al Arqam bin Abil Arqam juga mengikuti ajakan Abu Bakar untuk masuk islam pada periode awal. 
Abu Bakar juga mengorbankan hartanya untuk menebus dan membebaskan budak-budak yang disiksa oleh tuannya karena memeluk agama Islam, diantaranya adalah Bilal bin Rabbah dan Ibunya, 'Amr bin Farikhah, ibu dari Jubaish, Budak wanita dari Bani Muamil dan Hammamah, Zanirah, budak Umar bin Khaththab, dan lain-lain.  

Sikap Abu Bakar atas Perjanjian Hudaibiyah

            Dikukuhkannya Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi SAW dan orang-orang Quraisy, meninggalkan banyak kegelisahan pada umat Islam, bahkan pada sahabat selevel Umar bin Khaththab, karena secara sepintas perjanjian Hudaibiyah itu cenderung menguntungkan orang-orang Quraisy dan merugikan umat Islam. Hanya Abu Bakar yang yakin 100% atas keputusan Rasulullah SAW, bahkan ia memberikan jawaban yang sama persis dengan Nabi SAW, ketika Umar yang kritis sempat mempertanyakan keputusan Rasulullah SAW menerima perjanjian ini. Abu Bakar memberikan nasehat pada Umar bin Khaththab karena sikapnya tersebut,  "Patuhlah engkau pada perintah dan larangan Rasulullah sampai engkau meninggal dunia, Demi Allah, beliau berada di atas kebenaran."  
  
            Sikap Abu Bakar ini sama persis dengan sikapnya, ketika Rasulullah SAW memberitakan peristiwa Isra dan Mi'raj yang menggemparkan itu kepada masyarakat Quraisy, sikap yakin sepenuhnya atas benarnya perkataan dan sikap serta keputusan Nabi SAW, tanpa setitikpun ada kesangsian. Karena sikapnya pada peristiwa Isra' Mi'raj ini Abu Bakar digelari Nabi SAW "ash Shiddiq" 

Ketika sebagian besar sahabat merasakan “kekalahan” dengan adanya perjanjian Hudaibiyah ini, Abu Bakar justru berpendapat lain, ia berkata, "Tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada kemenangan pada perjanjian Hudaibiyah, akan tetapi kebanyakan orang berfikir pendek mengenai apa yang terjadi antara Nabi SAW dengan Rabbnya, sedang para hamba saat itu tergesa-gesa. Demi Allah, beliau tidak tergesa-gesa seperti ketergesaan hamba, sampai beliau menyampaikan semua urusan sebagaimana beliau kehendaki."  
        
Bersama Rasullullah SAW, tetapi Rasullullah tidak Terlihat

            Kedekatan dan kecintaan Abu Bakar terhadap Nabi SAW tidak diragukan lagi, bahkan telah terjalin sebelum Nabi SAW diangkat menjadi Nabi dan mengemban Risalah Islam. Maka tak heran ketika Nabi SAW mengalami tekanan dan siksaan, Abu Bakar pun ikut merasakan kesedihan dan luka, bahkan lebih dalam dirasakan dibanding bila ia sendiri yang mengalaminya.  
           Setelah turunnya surat Al Lahab, Ummu Jamil, istri Abu Lahab yang dikatakan sebagai Pembawa Kayu Bakar dalam Surah tsb, begitu marah kepada Rasullullah SAW. Dengan membawa batu besar ia datang menghampiri  Nabi SAW yang saat itu sedang duduk bersama Abu Bakar, Abu Bakar menangis melihat niat Ummu Jamil tsb. Tetapi Rasullullah menenangkannya dengan mengatakan, "Biarkan saja, ia tidak melihatku." 

          Benar saja, setelah dekat Ummu Jamil berkata kepada Abu Bakar RA, "Hai Abu Bakar, dimana kawanmu Si Muhammad itu, aku dengar ia menyindirku dengan mengatakan : ..dan istrinya, si pembawa kayu bakar, di lehernya ada tali dari sabut…Demi Allah, jika aku menjumpainya, pasti akan aku pukul dengan batu ini."
 
Itulah Abu Bakar, Rasulullah SAW yang ingin disakiti, itupun telah membuatnya sedih. 
Dalam Perjalanan Hijrah Bersama Rasulullah SAW
Setelah berlangsungnya Baiatul Aqabah kedua, atau juga dikenal dengan Baiatul Aqabah Kubra, Rasulullah SAW menghimbau kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah. Sebagian besar berangkat dengan sembunyi-sembunyi tetapi ada juga yang terang-terangan seperti Umar bin Khaththab. Sebagian sahabat yang telah berhijrah ke Habasyah ada yang langsung berangkat ke Madinah.

Dua bulan lebih setelah Baiatul Aqabah Kubra tersebut, hampir semua kaum muslimin telah meninggalkan Makkah menuju Madinah, kecuali beberapa orang yang diberikan keringanan (rukhsah) untuk tidak berhijrah. Ketika Abu Bakar meminta ijin Rasulullah SAW untuk berhijrah, beliau bersabda, “Tundalah keberangkatanmu, sesungguhnya aku masih menunggu izin bagiku untuk berhijrah (dan kita akan berangkat bersama-sama)..!!”
“Demi bapakku menjadi taruhannya,” Kata Abu Bakar, “Dalam keadaan seperti ini engkau masih menunggu ijin??”
Nabi SAW mengiyakan. Memang benar firman Allah, Rasulullah tidaklah mengatakan atau melakukan sesuatu karena hawa nafsunya, tetapi semua itu adalah atas wahyu dan petunjuk dari Allah (Wa maa yantiqu ‘anil hawaa, in huwa illa wahyuy yuukha). Dan Abu Bakar masih harus menunggu lagi selama empat bulan, sampai suatu pagi salah seorang pembantunya memberitahukan kepadanya, “Ini ada Rasulullah mengenakan kain penutup wajah, tidak biasanya beliau menemui kita pada saat-saat seperti ini…!”

Abu Bakar berkata, “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, beliau tidak akan menemui aku di saat seperti ini kecuali ada urusan yang sangat penting…!!”

Nabi SAW sampai di pintu rumah Abu Bakar dan meminta ijin untuk masuk. Setelah diijinkan, beliau segera masuk dan berkata,
“Aku sudah diijinkan untuk pergi (berhijrah)..!!”
“Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, ya Rasulullah, apakah aku harus menyertai engkau (dalam perintah/ijin berhijrah tersebut)?”
“Benar” Kata Rasulullah SAW.
Hati Abu Bakar menjadi gembira. Sungguh suatu kehormatan dan kemuliaan menyertai Nabi SAW dalam hijrah ke Madinah. Beliau merancang beberapa langkah yang akan ditempuh dalam hijrah kali ini, demi mengantisipasi berbagai kemungkinan, setelah itu beliau pulang.

Pada awal malam di hari itu, beberapa orang tokoh kaum Quraisy mengepung rumah Nabi SAW dengan niat bulat untuk membunuh beliau. Menjelang tengah malam, beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Tidurlah engkau di atas tempat tidurku, berselimutlah dengan mantelku warna hijau yang berasal dari Hadramaut ini. Tidurlah dengan berselimut mantel ini. Sungguh engkau akan tetap aman dari gangguan mereka yang engkau khawatirkan itu!!”

Ali melaksanakan perintah Rasulullah tersebut, dan beliau keluar melewati kepungan para tokoh Quraisy tersebut, bahkan beliau sempat menaburkan pasir di atas kepala mereka yang dalam keadaan tertidur. Riwayat lain menyebutkan mereka tidak tertidur, tetapi tidak bisa melihat Nabi SAW yang melewati mereka dan tidak merasakan pasir yang ditaburkan di atas kepala mereka.
Nabi SAW bergegas menuju rumah Abu Bakar yang telah siap menunggu dengan gelisah. Kemudian mereka berdua berjalan ke arah selatan, arah menuju Yaman, bukan ke arah utara yang menuju ke Madinah. Setelah menempuh sekitar delapan kilometer, mereka sampai di Gunung Tsur dan mendakinya. Abu Bakar memapah Nabi SAW yang tampak sangat kelelahan, apalagi beliau tidak mengenakan alas kaki.
Di puncak gunung, mereka menemukan Gua Tsur dan bermaksud bersembunyi di dalamnya. Abu Bakar berkata kepada Nabi SAW, “Demi Allah, janganlah engkau masuk ke dalamnya sebelum aku memasukinya. Jika ada sesuatu yang tidak beres di dalamnya, biarlah aku yang terkena, asalkan tidak mengenai engkau!!”

Abu Bakar memasuki gua dan membersihkan ruangannya. Ia melihat sebuah lubang, karena khawatir akan keluar binatang berbisa dari dalamnya, ia merobek sebagian matelnya untuk menutup lubang tersebut, baru kemudian mempersilahkan Nabi SAW memasukinya. Abu Bakar menutupi lubang tadi dengan kakinya, dan Nabi SAW berbaring dengan berbantalkan paha Abu Bakar dan beliau langsung tertidur. Tiba-tiba Abu Bakar merasakan sengatan di kakinya yang menutupi lubang tadi, mungkin ular atau kalajengking, dan ia merasa sangat kesakitan. Tetapi ia tidak mau menggerakkan kakinya karena takut akan membangunkan Rasulullah. Ia berusaha keras menahan rasa sakit, hingga air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah, dan beliau terbangun.

“Apa yang terjadi denganmu,  wahai Abu Bakar?” Tanya Rasulullah SAW.
“Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, ya Rasulullah, aku digigit binatang berbisa!!”
Nabi SAW bangkit dari tidurnya dan memeriksa kaki Abu Bakar. Beliau meludahi kaki yang terluka tersebut, dan seketika sakit yang dirasakan Abu Bakar menghilang.
Mereka berdua bersembunyi di dalam Gua Tsur selama tiga hari. Setiap malam Abdullah bin Abu Bakar datang ke gua tersebut untuk menemani dan menceritakan keadaan di Makkah, layaknya seorang mata-mata melaporkan tugasnya. Amir bin Fuhairah, salah seorang pelayan Abu Bakar, menggembalakan domba-dombanya di kaki gunung tersebut, dan mengantarkan susu ke gua untuk minuman mereka. Menjelang fajar, Abdullah segera kembali ke Makkah, dan Amir bin Fuhairah menggiring domba-dombanya di belakangnya sehingga menghilangkan jejak kaki yang dibuat Abdullah.
Sebenarnya ada beberapa orang Quraisy yang sempat mendaki gunung dan menemukan Gua Tsur. Abu Bakar berbisik kepada Nabi SAW, “Wahai Nabi Allah, andaikata mereka mendongakkan pandangannya, tentulah mereka akan melihat kita!!”
“Diamlah, wahai Abu Bakar,” Kata Nabi SAW dengan berbisik juga,” Dua orang, dan yang ketiga adalah Allah!!”

Sebagian riwayat menyebutkan, di atas pintu goa tersebut terdapat sarang burung merpati, dan pintu goa tertutup dengan sarang laba-laba, yang walaupun laba-laba tersebut baru saja membuatnya, tetapi keadaannya seperti sarang yang telah lama berada di situ. Karena itu akal mereka “tertipu”, logika mereka membantah kalau ada orang di dalam gua. Semua itu adalah cara Allah untuk melindungi hamba-hamba yang dikasihi-Nya.
Setelah tiga hari berlalu, mereka melanjutkan perjalanan ke Madinah disertai oleh Amir bin Fuhairah, dengan penunjuk jalan Abdullah bin Uraiqith, yang ketika itu masih beragama jahiliah, tetapi merupakan orang yang dapat dipercaya, sehingga Abu Bakar memilihnya. Abu Bakar mempunyai kebiasaan duduk membonceng di belakang Nabi SAW, dan ia seseorang yang cukup dikenal di kawasan Jazirah Arabia. Ketika bertemu beberapa orang yang mengenalnya dalam perjalanan hijrah itu, mereka bertanya, “Siapakah orang yang di depanmu itu?”
Abu Bakar selalu menjawab,  “Dia orang yang menunjukkan jalan kepadaku..!!”
Tentunya Abu Bakar tidak berbohong dengan jawabannya itu, walaupun orang yang menanyakannya mempunyai persepsi yang berbeda atas jawabannya tersebut.
Beberapa peristiwa terjadi dalam perjalanan ini, seperti pengejaran oleh Suraqah bin Malik bin Ju’syum, beristirahat di tenda Ummu Ma’bad, (lihat kisahnya di bagian lain Percik Kisah Sahabat Nabi SAW ini), dan lain-lainnya yang tidak perlu dijabarkan secara mendetail dalam kisah Abu Bakar ini. Yang jelas, Abu Bakar selalu mendampingi dan melindungi Nabi SAW dari berbagai kemungkinan yang bisa menyakiti atau mencelakakan beliau, hingga akhirnya tiba di Quba, Madinah.
                                                           
Kekhawatiran Abu Bakar

            Walaupun menjadi sahabat utama dan pilihan Rasulullah SAW, bahkan jelas-jelas beliau menyampaikan bahwa ia dijamin masuk surga, bahkan delapan pintu surga memanggilnya untuk memasukinya, tetapi semua itu tidak menjadikannya sombong dan merasa telah suci. Bahkan ia sendiri seingkali merasakan kekhawatiran. Inilah beberapa di antaranya.   
                                                        
"Alangkah baiknya jika aku…."
            Walaupun kemuliaan dan pujian langsung diberikan oleh Rasulullah SAW, tetapi Abu Bakar tidak secara otomatis merasa selamat di akhirat kelak, bahkan ia selalu merasa khawatir dengan nasibnya di hadapan Allah. Sering sekali ia melontarkan ungkapan yang menunjukkan kegundahan hatinya. Misalnya                                                                                     
            "Alangkah baiknya jika aku ini sebatang pohon, yang kemudian ditebang dan dijadikan kayu bakar."                                                                               
            "Alangkah baiknya jika aku ini sebatang rumput, yang akan habis begitu saja dimakan ternak."                                                                             
            Ketika sedang berada di suatu kebun dan melihat seekor burung yang sedang berkicau, dia berkata, "Wahai burung, sungguh beruntungnya engkau, engkau makan, minum dan terbang di antara pepohonan penuh kebebasan tanpa perasaan takut akan hari kiamat, andai Abu Bakar menjadi seperti engkau, wahai burung."                                                                                      
"..telah aku anggap benar padahal sebenarnya tidak…"
            Suatu saat Ummul Mukminin Aisyah RA melihat keadaan ayahnya, Abu Bakar yang saat itu menjabat sebagai khalifah, dalam keadaan sangat gelisah, seperti ada beban amat berat yang  ditanggungnya, karena itu ia bertanya, "Wahai ayahku, apakah engkau tengah menghadapi suatu kesusahan?"                                       
Abu Bakar hanya memandang putrinya tanpa memberikan jawaban. Keesokan harinya, ia memanggil putrinya itu dan berkata, "Wahai Aisyah, bawalah padaku buku catatan tentang sikap, perbuatan, dan ucapan Nabi SAW (Hadits) yang telah kuberikan kepadamu dulu!"                                             
Abu Bakar memang telah menghimpun tentang sikap, perbuatan dan ucapan Nabi SAW (yang di kemudian hari disebut al Hadits), baik dari yang dilihat dan dialaminya sendiri bersama Nabi SAW, atau dari sahabat-sahabat lainnya, dan menuliskannya dalam suatu buku catatan, sejumlah limaratus riwayat. Buku catatan tersebut diberikan kepada putrinya untuk disimpan.
Aisyah datang dengan membawa buku catatan tersebut. Setelah buku itu diserahkan, Abu Bakar segera membakarnya, dan berkata, "Wahai Aisyah, buku yang kubakar tersebut mengandung banyak riwayat tentang Nabi SAW, yang kukumpulkan dan kuperoleh dari orang-orang yang berbeda. Aku khawatir, jika aku telah meninggal kelak, aku meninggalkan sebuah riwayat yang kuanggap benar, padahal sebenarnya tidak, dan aku harus menanggung akibatnya."
Mungkin suatu kehati-hatian yang berlebihan, karena Abu Bakar adalah sahabat Nabi SAW yang paling dekat, bahkan sejak beliau belum diangkat menjadi Rasul, tentunya ia sangat tahu tentang beliau. Apalagi sewaktu Nabi SAW masih hidup ia diberi tugas untuk berfatwa atau menjawab atas masalah umat, seperti halnya Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Muadz bin Jabal, Abu Musa al Asy'ari dan Abu Darda'. Tetapi justru inilah salah satu wujud tingginya nilai keimanan Abu Bakar yang dipuji oleh Nabi SAW.  
                                                                                               
Gaji Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah

            Abu Bakar bekerja sebagai pedagang kain di pasar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sesaat setelah diba'iat sebagai khalifah, Abu Bakar mengambil dagangannya dan berangkat ke pasar sebagaimana biasanya. Melihat keadaan ini, Umar bin Khaththab berkata, "Apabila engkau sibuk dengan perdaganganmu, bagaimana dengan urusan kekhalifahan?"                       
           "Kalau tidak berdagang kain, bagaimana aku akan menafkahi anak istriku?" Jawab Abu Bakar.      
       "Marilah kita menemui Abu Ubaidah yang diberi gelar Nabi SAW  'Aminul Ummah' (orang kepercayaan umat)" Kata Umar, "Dia akan menetapkan gaji bagimu dari Baitul Mal."                
          Mereka berdua pergi menemui Abu Ubaidah yang memang dipercaya Nabi SAW memegang Baitul Mal. Setelah mendengar penjelasan Umar, Abu Ubaidah menetapkan tunjangan bagi Abu Bakar sebagai khalifah, sebagaimana tunjangan seorang muhajir yang tidak mempunyai penghasilan tetap.
          Suatu ketika istri Abu Bakar ingin sekali makan manisan, tetapi Abu Bakar berkata kalau ia tidak mempunyai uang lagi. Maka istrinya berkata, "Kalau engkau mengijinkan, aku akan menyisihkan uang dari belanja setiap harinya, sehingga dalam beberapa hari akan terkumpul cukup uang untuk membeli manisan..!" 
            Abu Bakar menyetujui usul istrinya ini. Setelah beberapa hari, istrinya menyerahkan kepadanya, uang yang terkumpul untuk membeli bahan-bahan manisan. Setelah menerima uang tsb. Abu Bakar justru ragu untuk membelanjakannya, ia berkata, "Dari pengalaman ini, aku jadi tahu kalau kita memperoleh tunjangan yang berlebihan dari Baitul Mal." 
Karena itu uang tersebut tidak jadi dibelikan bahan manisan, tetapi disetorkan kembali ke Baitul Mal. Dan ia berpesan kepada Abu Ubaidah agar tunjangannya dikurangi sebanyak yang dikumpulkan istrinya setiap harinya.
            Sebelum meninggal, Abu Bakar berpesan kepada putrinya, yang adalah istri Rasulullah SAW, Aisyah RA, agar setelah kematiannya, barang yang diperolehnya dari Baitul Mal sebagai khalifah, diserahkan kepada khalifah penggantinya.
           Ia juga berkata pada Aisyah, "Sebenarnya aku tidak ingin mengambil apapun dari Baitul Mal, tetapi Umar telah mendesakku untuk mengambil tunjangan agar aku tidak disibukkan dengan perdaganganku, dan mengurus keadaan kaum muslimin. Aku tidak punya pilihan lain sehingga terpaksa aku menerima dari Baitul Mal. Karena itu, kuserahkan kebunku kepada Baitul Mal sebagai pengganti uang tunjangan yang telah kuterima selama ini."
Ketika wasiyat ini ditunaikan dan Umar bin Khaththab menerimanya, ia berkata, "Semoga Allah merahmati Abu Bakar, sungguh dia telah menunjukkan jalan yang sulit untuk diikuti pengganti-penggantinya. Satu riwayat mengatakan, peninggalan Abu Bakar adalah seekor unta betina, sebuah mangkuk dan seorang hamba sahaya, tanpa dinar dan dirham sebuahpun. Riwayat lain mengatakan hanya sebuah selimut dan riwayat lainnya lagi hanya sebuah permadani. Wallahu A’lam.

KISAH SAHABAT RASULULLAH SAW

Apa yang Dikatakan Rasullullah SAW tentang Abu Bakar RA  

                                                     
         Abu Bakar RA adalah orang dewasa pertama yang masuk islam, tetapi bukan itu saja, Rasullullah SAW juga  memujinya karena cara penerimaan ajakan Rasullullah SAW untuk memeluk islam. Tentang hal ini Beliau bersabda, "Tiada pernah aku mengajak seseorang masuk Islam, tanpa ada hambatan, tanpa mengemukakan pandangan dan alasan kecuali Abu Bakar. Ketika aku menyampaikan ajakan tersebut, dia langsung menerimanya tanpa ragu sedikitpun." 
                             
        Abu Bakar RA juga sahabat Rasullullah SAW jauh sebelum Beliau mendakwahkan Islam. Selisih usianya yang hanya bertaut dua tahun lebih muda, dan kemuliaan budi pekerti Abu Bakar dibandingkan orang-orang Makkah saat itu, membuatnya dekat dan akrab dengan Rasullullah SAW. Bahkan Abu Bakar menjadikan sosok Nabi SAW sebagai cerminan dan teladan untuk meningkatkan kualitas dirinya. Tak heran begitu memeluk Islam, keimanan dan keteguhannya dalam menjaga agamanya tak diragukan lagi, bahkan Rasulullah SAW sendiripun memujinya. Beliau bersabda tentang dirinya "Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat, akan lebih berat keimanan Abu Bakar." (HR Iman Baihaqi, dalam Asy Syib)  
                                        
        Masih banyak lagi pujian Nabi SAW terhadap Abu Bakar, misalnya : Pemimpin jamaah di surga, Semua pintu surga akan memanggilnya untuk memasukinya, Orang pertama yang masuk surga dari umat Nabi SAW, dll.                                                                                     
Kegigihan Abu Bakar RA dalam Menjalankan dan Mendakwahkan Agamanya

            Abu Bakar adalah salah seorang yang sangat dihormati dikalangan orang-orang Makkah, selain karena kemuliaan budi pekertinya, kejujuran, kecerdasan, kecakapan, berkemauan keras, pemberani dan dermawan, dia juga berasal dari keturunan yang mulia dari Bangsa Quraisy. Nasab kedua orang tuanya bertemu dengan nasab Rasullullah SAW pada Murrah Bin Ka'ab, kakeknya. Namun demikian, pilihannya untuk masuk agama Islam membuat orang-orang Makkah mengabaikan kedudukan dan kemuliaannya tersebut.
 
Tidak mudah bagi Abu Bakar untuk menjalankan ibadah sebagaimana sahabat-sahabat yang mula-mula memeluk Islam, gangguan dan siksaan juga dialaminya. Ketika penganiayaan dan tekanan semakin dahsyat,  dia meminta ijin kepada Rasullullah SAW untuk berhijrah ke Habsyi, dan Rasullullah SAW pun mengijinkannya. Ketika perjalanannya sampai pada tempat bernama "Barkulimat", Abu Bakar RA bertemu dengan Ibnu Addaghnah, pemimpin suku setempat . Ketika ditanya tentang perjalanannya tersebut, Abu Bakar RA menjawab, "Aku dipaksa keluar (dari Makkah) oleh kaumku, dan aku ingin merantau di muka bumi sehingga aku dapat beribadah kepada Rabbku."

Mendengar jawaban itu, Ibnu Addaghnah berkata, "Orang seperti engkau hai Abu Bakar, tidak boleh keluar atau dikeluarkan. Engkau selalu menolong orang yang miskin, suka bersilaturahmi, membantu orang yang sengsara dan lemah, dan menghormati tamu. Aku bersedia menjadi pelindungmu. Kembalilah ke Makkah, dan sembahlah Tuhanmu di negerimu."  
                
Budaya "Pelindung/Melindungi” adalah budaya yang sangat dihormati di kalangan suku-suku Arab. Begitu seorang yang punya pengaruh menyatakan diri sebagai "Pelindung" bagi seseorang, maka maka harta, darah dan kehormatan orang tersebut aman dari gangguan dan siksaan orang-orang sekitarnya. Budaya ini pula  yang membantu Nabi SAW mendakwahkan Islam di tengah penolakan dan permusuhan kaum kafir Quraisy Makkah karena Abu Thalib menyatakan diri sebagai "Pelindung" Rasullullah SAW. Begitu Abu Thalib meninggal, Rasullullah SAW mengalami siksaan dan penghinaan yang tak kalah hebatnya dengan sahabat-sahabat beliau yang lain.                                                       
            Abu Bakar kembali ke Makkah dan Ibnu Addaghnah mengumumkan "Perlindungan" yang diberikannya pada  Abu Bakar, dia melarang siapapun untuk mengganggu Abu Bakar. Orang-orang kafir Quraisy tak berkutik, tetapi mereka mengajukan syarat agar Abu Bakar tidak bersuara keras dalam beribadah, karena khawatir kaum wanita dan anak-anak mereka akan terganggu. Ibnu Addaghnah dan Abu Bakar menerima persyaratan itu.                                        
            Abu Bakar mendirikan mushalla di depan rumahnya, dia shalat dan membaca Qur'an di sana. Setiap kali selesai membaca Qur'an, dia selalu menangis, hal ini membuat wanita dan anak-anak orang kafir Quraisy jadi tertarik dan mulai terpengaruh dengan apa yang dilakukan Abu Bakar. Kaum kafir Quraisy pun jadi khawatir dan mengadukan ini pada Ibnu Addaghnah. Ibnu Addaghnahpun mendatangi Abu Bakar dan berkata, "Engkau telah mengetahui perjanjian dengan orang-orang Quraisy, hendaklah engkau menepati perjanjian itu, atau engkau kembalikan perlindunganku?" 
Dengan jawaban yang menunjukkan keteguhan imannya, Abu Bakar RA pun menjawab, "Aku kembalikan janji perlindunganmu, dan aku ridha dengan perlindungan Allah SWT." 
Mulailah Abu Bakar mengalami tekanan dan siksaan dalam beribadah kepada Allah SWT sebagaimana sebelumnya.                                                                                       
            Setelah memeluk Islam, Abu Bakar RA mengurangi aktivitas perdagangan yang sebenarnya cukup sukses, dan mengabdikan waktu, tenaga dan hartanya untuk agama yang diyakini kebenarannya itu. Tercatat beberapa sahabat utama menjadi muslim karena ajakan Abu Bakar, seperti Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka ini adalah sebagian dari sepuluh orang sahabat yang dijamin akan masuk surga sebagaimana diberitakan Nabi SAW pada Aisyah RA. Selain itu, Utsman bin Mazh'un, Abu Salamah bin Abdul Asad, Al Arqam bin Abil Arqam juga mengikuti ajakan Abu Bakar untuk masuk islam pada periode awal. 
Abu Bakar juga mengorbankan hartanya untuk menebus dan membebaskan budak-budak yang disiksa oleh tuannya karena memeluk agama Islam, diantaranya adalah Bilal bin Rabbah dan Ibunya, 'Amr bin Farikhah, ibu dari Jubaish, Budak wanita dari Bani Muamil dan Hammamah, Zanirah, budak Umar bin Khaththab, dan lain-lain.  

Sikap Abu Bakar atas Perjanjian Hudaibiyah

            Dikukuhkannya Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi SAW dan orang-orang Quraisy, meninggalkan banyak kegelisahan pada umat Islam, bahkan pada sahabat selevel Umar bin Khaththab, karena secara sepintas perjanjian Hudaibiyah itu cenderung menguntungkan orang-orang Quraisy dan merugikan umat Islam. Hanya Abu Bakar yang yakin 100% atas keputusan Rasulullah SAW, bahkan ia memberikan jawaban yang sama persis dengan Nabi SAW, ketika Umar yang kritis sempat mempertanyakan keputusan Rasulullah SAW menerima perjanjian ini. Abu Bakar memberikan nasehat pada Umar bin Khaththab karena sikapnya tersebut,  "Patuhlah engkau pada perintah dan larangan Rasulullah sampai engkau meninggal dunia, Demi Allah, beliau berada di atas kebenaran."  
  
            Sikap Abu Bakar ini sama persis dengan sikapnya, ketika Rasulullah SAW memberitakan peristiwa Isra dan Mi'raj yang menggemparkan itu kepada masyarakat Quraisy, sikap yakin sepenuhnya atas benarnya perkataan dan sikap serta keputusan Nabi SAW, tanpa setitikpun ada kesangsian. Karena sikapnya pada peristiwa Isra' Mi'raj ini Abu Bakar digelari Nabi SAW "ash Shiddiq" 

Ketika sebagian besar sahabat merasakan “kekalahan” dengan adanya perjanjian Hudaibiyah ini, Abu Bakar justru berpendapat lain, ia berkata, "Tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada kemenangan pada perjanjian Hudaibiyah, akan tetapi kebanyakan orang berfikir pendek mengenai apa yang terjadi antara Nabi SAW dengan Rabbnya, sedang para hamba saat itu tergesa-gesa. Demi Allah, beliau tidak tergesa-gesa seperti ketergesaan hamba, sampai beliau menyampaikan semua urusan sebagaimana beliau kehendaki."  
        
Bersama Rasullullah SAW, tetapi Rasullullah tidak Terlihat

            Kedekatan dan kecintaan Abu Bakar terhadap Nabi SAW tidak diragukan lagi, bahkan telah terjalin sebelum Nabi SAW diangkat menjadi Nabi dan mengemban Risalah Islam. Maka tak heran ketika Nabi SAW mengalami tekanan dan siksaan, Abu Bakar pun ikut merasakan kesedihan dan luka, bahkan lebih dalam dirasakan dibanding bila ia sendiri yang mengalaminya.  
           Setelah turunnya surat Al Lahab, Ummu Jamil, istri Abu Lahab yang dikatakan sebagai Pembawa Kayu Bakar dalam Surah tsb, begitu marah kepada Rasullullah SAW. Dengan membawa batu besar ia datang menghampiri  Nabi SAW yang saat itu sedang duduk bersama Abu Bakar, Abu Bakar menangis melihat niat Ummu Jamil tsb. Tetapi Rasullullah menenangkannya dengan mengatakan, "Biarkan saja, ia tidak melihatku." 

          Benar saja, setelah dekat Ummu Jamil berkata kepada Abu Bakar RA, "Hai Abu Bakar, dimana kawanmu Si Muhammad itu, aku dengar ia menyindirku dengan mengatakan : ..dan istrinya, si pembawa kayu bakar, di lehernya ada tali dari sabut…Demi Allah, jika aku menjumpainya, pasti akan aku pukul dengan batu ini."
 
Itulah Abu Bakar, Rasulullah SAW yang ingin disakiti, itupun telah membuatnya sedih. 
Dalam Perjalanan Hijrah Bersama Rasulullah SAW
Setelah berlangsungnya Baiatul Aqabah kedua, atau juga dikenal dengan Baiatul Aqabah Kubra, Rasulullah SAW menghimbau kaum muslimin untuk berhijrah ke Madinah. Sebagian besar berangkat dengan sembunyi-sembunyi tetapi ada juga yang terang-terangan seperti Umar bin Khaththab. Sebagian sahabat yang telah berhijrah ke Habasyah ada yang langsung berangkat ke Madinah.

Dua bulan lebih setelah Baiatul Aqabah Kubra tersebut, hampir semua kaum muslimin telah meninggalkan Makkah menuju Madinah, kecuali beberapa orang yang diberikan keringanan (rukhsah) untuk tidak berhijrah. Ketika Abu Bakar meminta ijin Rasulullah SAW untuk berhijrah, beliau bersabda, “Tundalah keberangkatanmu, sesungguhnya aku masih menunggu izin bagiku untuk berhijrah (dan kita akan berangkat bersama-sama)..!!”
“Demi bapakku menjadi taruhannya,” Kata Abu Bakar, “Dalam keadaan seperti ini engkau masih menunggu ijin??”
Nabi SAW mengiyakan. Memang benar firman Allah, Rasulullah tidaklah mengatakan atau melakukan sesuatu karena hawa nafsunya, tetapi semua itu adalah atas wahyu dan petunjuk dari Allah (Wa maa yantiqu ‘anil hawaa, in huwa illa wahyuy yuukha). Dan Abu Bakar masih harus menunggu lagi selama empat bulan, sampai suatu pagi salah seorang pembantunya memberitahukan kepadanya, “Ini ada Rasulullah mengenakan kain penutup wajah, tidak biasanya beliau menemui kita pada saat-saat seperti ini…!”

Abu Bakar berkata, “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, beliau tidak akan menemui aku di saat seperti ini kecuali ada urusan yang sangat penting…!!”

Nabi SAW sampai di pintu rumah Abu Bakar dan meminta ijin untuk masuk. Setelah diijinkan, beliau segera masuk dan berkata,
“Aku sudah diijinkan untuk pergi (berhijrah)..!!”
“Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, ya Rasulullah, apakah aku harus menyertai engkau (dalam perintah/ijin berhijrah tersebut)?”
“Benar” Kata Rasulullah SAW.
Hati Abu Bakar menjadi gembira. Sungguh suatu kehormatan dan kemuliaan menyertai Nabi SAW dalam hijrah ke Madinah. Beliau merancang beberapa langkah yang akan ditempuh dalam hijrah kali ini, demi mengantisipasi berbagai kemungkinan, setelah itu beliau pulang.

Pada awal malam di hari itu, beberapa orang tokoh kaum Quraisy mengepung rumah Nabi SAW dengan niat bulat untuk membunuh beliau. Menjelang tengah malam, beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Tidurlah engkau di atas tempat tidurku, berselimutlah dengan mantelku warna hijau yang berasal dari Hadramaut ini. Tidurlah dengan berselimut mantel ini. Sungguh engkau akan tetap aman dari gangguan mereka yang engkau khawatirkan itu!!”

Ali melaksanakan perintah Rasulullah tersebut, dan beliau keluar melewati kepungan para tokoh Quraisy tersebut, bahkan beliau sempat menaburkan pasir di atas kepala mereka yang dalam keadaan tertidur. Riwayat lain menyebutkan mereka tidak tertidur, tetapi tidak bisa melihat Nabi SAW yang melewati mereka dan tidak merasakan pasir yang ditaburkan di atas kepala mereka.
Nabi SAW bergegas menuju rumah Abu Bakar yang telah siap menunggu dengan gelisah. Kemudian mereka berdua berjalan ke arah selatan, arah menuju Yaman, bukan ke arah utara yang menuju ke Madinah. Setelah menempuh sekitar delapan kilometer, mereka sampai di Gunung Tsur dan mendakinya. Abu Bakar memapah Nabi SAW yang tampak sangat kelelahan, apalagi beliau tidak mengenakan alas kaki.
Di puncak gunung, mereka menemukan Gua Tsur dan bermaksud bersembunyi di dalamnya. Abu Bakar berkata kepada Nabi SAW, “Demi Allah, janganlah engkau masuk ke dalamnya sebelum aku memasukinya. Jika ada sesuatu yang tidak beres di dalamnya, biarlah aku yang terkena, asalkan tidak mengenai engkau!!”

Abu Bakar memasuki gua dan membersihkan ruangannya. Ia melihat sebuah lubang, karena khawatir akan keluar binatang berbisa dari dalamnya, ia merobek sebagian matelnya untuk menutup lubang tersebut, baru kemudian mempersilahkan Nabi SAW memasukinya. Abu Bakar menutupi lubang tadi dengan kakinya, dan Nabi SAW berbaring dengan berbantalkan paha Abu Bakar dan beliau langsung tertidur. Tiba-tiba Abu Bakar merasakan sengatan di kakinya yang menutupi lubang tadi, mungkin ular atau kalajengking, dan ia merasa sangat kesakitan. Tetapi ia tidak mau menggerakkan kakinya karena takut akan membangunkan Rasulullah. Ia berusaha keras menahan rasa sakit, hingga air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah, dan beliau terbangun.

“Apa yang terjadi denganmu,  wahai Abu Bakar?” Tanya Rasulullah SAW.
“Demi ayah dan ibuku sebagai jaminannya, ya Rasulullah, aku digigit binatang berbisa!!”
Nabi SAW bangkit dari tidurnya dan memeriksa kaki Abu Bakar. Beliau meludahi kaki yang terluka tersebut, dan seketika sakit yang dirasakan Abu Bakar menghilang.
Mereka berdua bersembunyi di dalam Gua Tsur selama tiga hari. Setiap malam Abdullah bin Abu Bakar datang ke gua tersebut untuk menemani dan menceritakan keadaan di Makkah, layaknya seorang mata-mata melaporkan tugasnya. Amir bin Fuhairah, salah seorang pelayan Abu Bakar, menggembalakan domba-dombanya di kaki gunung tersebut, dan mengantarkan susu ke gua untuk minuman mereka. Menjelang fajar, Abdullah segera kembali ke Makkah, dan Amir bin Fuhairah menggiring domba-dombanya di belakangnya sehingga menghilangkan jejak kaki yang dibuat Abdullah.
Sebenarnya ada beberapa orang Quraisy yang sempat mendaki gunung dan menemukan Gua Tsur. Abu Bakar berbisik kepada Nabi SAW, “Wahai Nabi Allah, andaikata mereka mendongakkan pandangannya, tentulah mereka akan melihat kita!!”
“Diamlah, wahai Abu Bakar,” Kata Nabi SAW dengan berbisik juga,” Dua orang, dan yang ketiga adalah Allah!!”

Sebagian riwayat menyebutkan, di atas pintu goa tersebut terdapat sarang burung merpati, dan pintu goa tertutup dengan sarang laba-laba, yang walaupun laba-laba tersebut baru saja membuatnya, tetapi keadaannya seperti sarang yang telah lama berada di situ. Karena itu akal mereka “tertipu”, logika mereka membantah kalau ada orang di dalam gua. Semua itu adalah cara Allah untuk melindungi hamba-hamba yang dikasihi-Nya.
Setelah tiga hari berlalu, mereka melanjutkan perjalanan ke Madinah disertai oleh Amir bin Fuhairah, dengan penunjuk jalan Abdullah bin Uraiqith, yang ketika itu masih beragama jahiliah, tetapi merupakan orang yang dapat dipercaya, sehingga Abu Bakar memilihnya. Abu Bakar mempunyai kebiasaan duduk membonceng di belakang Nabi SAW, dan ia seseorang yang cukup dikenal di kawasan Jazirah Arabia. Ketika bertemu beberapa orang yang mengenalnya dalam perjalanan hijrah itu, mereka bertanya, “Siapakah orang yang di depanmu itu?”
Abu Bakar selalu menjawab,  “Dia orang yang menunjukkan jalan kepadaku..!!”
Tentunya Abu Bakar tidak berbohong dengan jawabannya itu, walaupun orang yang menanyakannya mempunyai persepsi yang berbeda atas jawabannya tersebut.
Beberapa peristiwa terjadi dalam perjalanan ini, seperti pengejaran oleh Suraqah bin Malik bin Ju’syum, beristirahat di tenda Ummu Ma’bad, (lihat kisahnya di bagian lain Percik Kisah Sahabat Nabi SAW ini), dan lain-lainnya yang tidak perlu dijabarkan secara mendetail dalam kisah Abu Bakar ini. Yang jelas, Abu Bakar selalu mendampingi dan melindungi Nabi SAW dari berbagai kemungkinan yang bisa menyakiti atau mencelakakan beliau, hingga akhirnya tiba di Quba, Madinah.
                                                           
Kekhawatiran Abu Bakar

            Walaupun menjadi sahabat utama dan pilihan Rasulullah SAW, bahkan jelas-jelas beliau menyampaikan bahwa ia dijamin masuk surga, bahkan delapan pintu surga memanggilnya untuk memasukinya, tetapi semua itu tidak menjadikannya sombong dan merasa telah suci. Bahkan ia sendiri seingkali merasakan kekhawatiran. Inilah beberapa di antaranya.   
                                                        
"Alangkah baiknya jika aku…."
            Walaupun kemuliaan dan pujian langsung diberikan oleh Rasulullah SAW, tetapi Abu Bakar tidak secara otomatis merasa selamat di akhirat kelak, bahkan ia selalu merasa khawatir dengan nasibnya di hadapan Allah. Sering sekali ia melontarkan ungkapan yang menunjukkan kegundahan hatinya. Misalnya                                                                                     
            "Alangkah baiknya jika aku ini sebatang pohon, yang kemudian ditebang dan dijadikan kayu bakar."                                                                               
            "Alangkah baiknya jika aku ini sebatang rumput, yang akan habis begitu saja dimakan ternak."                                                                             
            Ketika sedang berada di suatu kebun dan melihat seekor burung yang sedang berkicau, dia berkata, "Wahai burung, sungguh beruntungnya engkau, engkau makan, minum dan terbang di antara pepohonan penuh kebebasan tanpa perasaan takut akan hari kiamat, andai Abu Bakar menjadi seperti engkau, wahai burung."                                                                                      
"..telah aku anggap benar padahal sebenarnya tidak…"
            Suatu saat Ummul Mukminin Aisyah RA melihat keadaan ayahnya, Abu Bakar yang saat itu menjabat sebagai khalifah, dalam keadaan sangat gelisah, seperti ada beban amat berat yang  ditanggungnya, karena itu ia bertanya, "Wahai ayahku, apakah engkau tengah menghadapi suatu kesusahan?"                                       
Abu Bakar hanya memandang putrinya tanpa memberikan jawaban. Keesokan harinya, ia memanggil putrinya itu dan berkata, "Wahai Aisyah, bawalah padaku buku catatan tentang sikap, perbuatan, dan ucapan Nabi SAW (Hadits) yang telah kuberikan kepadamu dulu!"                                             
Abu Bakar memang telah menghimpun tentang sikap, perbuatan dan ucapan Nabi SAW (yang di kemudian hari disebut al Hadits), baik dari yang dilihat dan dialaminya sendiri bersama Nabi SAW, atau dari sahabat-sahabat lainnya, dan menuliskannya dalam suatu buku catatan, sejumlah limaratus riwayat. Buku catatan tersebut diberikan kepada putrinya untuk disimpan.
Aisyah datang dengan membawa buku catatan tersebut. Setelah buku itu diserahkan, Abu Bakar segera membakarnya, dan berkata, "Wahai Aisyah, buku yang kubakar tersebut mengandung banyak riwayat tentang Nabi SAW, yang kukumpulkan dan kuperoleh dari orang-orang yang berbeda. Aku khawatir, jika aku telah meninggal kelak, aku meninggalkan sebuah riwayat yang kuanggap benar, padahal sebenarnya tidak, dan aku harus menanggung akibatnya."
Mungkin suatu kehati-hatian yang berlebihan, karena Abu Bakar adalah sahabat Nabi SAW yang paling dekat, bahkan sejak beliau belum diangkat menjadi Rasul, tentunya ia sangat tahu tentang beliau. Apalagi sewaktu Nabi SAW masih hidup ia diberi tugas untuk berfatwa atau menjawab atas masalah umat, seperti halnya Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Ubay bin Ka'ab, Abdullah bin Mas'ud, Muadz bin Jabal, Abu Musa al Asy'ari dan Abu Darda'. Tetapi justru inilah salah satu wujud tingginya nilai keimanan Abu Bakar yang dipuji oleh Nabi SAW.  
                                                                                               
Gaji Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah

            Abu Bakar bekerja sebagai pedagang kain di pasar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sesaat setelah diba'iat sebagai khalifah, Abu Bakar mengambil dagangannya dan berangkat ke pasar sebagaimana biasanya. Melihat keadaan ini, Umar bin Khaththab berkata, "Apabila engkau sibuk dengan perdaganganmu, bagaimana dengan urusan kekhalifahan?"                       
           "Kalau tidak berdagang kain, bagaimana aku akan menafkahi anak istriku?" Jawab Abu Bakar.      
       "Marilah kita menemui Abu Ubaidah yang diberi gelar Nabi SAW  'Aminul Ummah' (orang kepercayaan umat)" Kata Umar, "Dia akan menetapkan gaji bagimu dari Baitul Mal."                
          Mereka berdua pergi menemui Abu Ubaidah yang memang dipercaya Nabi SAW memegang Baitul Mal. Setelah mendengar penjelasan Umar, Abu Ubaidah menetapkan tunjangan bagi Abu Bakar sebagai khalifah, sebagaimana tunjangan seorang muhajir yang tidak mempunyai penghasilan tetap.
          Suatu ketika istri Abu Bakar ingin sekali makan manisan, tetapi Abu Bakar berkata kalau ia tidak mempunyai uang lagi. Maka istrinya berkata, "Kalau engkau mengijinkan, aku akan menyisihkan uang dari belanja setiap harinya, sehingga dalam beberapa hari akan terkumpul cukup uang untuk membeli manisan..!" 
            Abu Bakar menyetujui usul istrinya ini. Setelah beberapa hari, istrinya menyerahkan kepadanya, uang yang terkumpul untuk membeli bahan-bahan manisan. Setelah menerima uang tsb. Abu Bakar justru ragu untuk membelanjakannya, ia berkata, "Dari pengalaman ini, aku jadi tahu kalau kita memperoleh tunjangan yang berlebihan dari Baitul Mal." 
Karena itu uang tersebut tidak jadi dibelikan bahan manisan, tetapi disetorkan kembali ke Baitul Mal. Dan ia berpesan kepada Abu Ubaidah agar tunjangannya dikurangi sebanyak yang dikumpulkan istrinya setiap harinya.
            Sebelum meninggal, Abu Bakar berpesan kepada putrinya, yang adalah istri Rasulullah SAW, Aisyah RA, agar setelah kematiannya, barang yang diperolehnya dari Baitul Mal sebagai khalifah, diserahkan kepada khalifah penggantinya.
           Ia juga berkata pada Aisyah, "Sebenarnya aku tidak ingin mengambil apapun dari Baitul Mal, tetapi Umar telah mendesakku untuk mengambil tunjangan agar aku tidak disibukkan dengan perdaganganku, dan mengurus keadaan kaum muslimin. Aku tidak punya pilihan lain sehingga terpaksa aku menerima dari Baitul Mal. Karena itu, kuserahkan kebunku kepada Baitul Mal sebagai pengganti uang tunjangan yang telah kuterima selama ini."
Ketika wasiyat ini ditunaikan dan Umar bin Khaththab menerimanya, ia berkata, "Semoga Allah merahmati Abu Bakar, sungguh dia telah menunjukkan jalan yang sulit untuk diikuti pengganti-penggantinya. Satu riwayat mengatakan, peninggalan Abu Bakar adalah seekor unta betina, sebuah mangkuk dan seorang hamba sahaya, tanpa dinar dan dirham sebuahpun. Riwayat lain mengatakan hanya sebuah selimut dan riwayat lainnya lagi hanya sebuah permadani. Wallahu A’lam.